Image via Wikipedia
Sumber: Majalah MORE Indonesia/ kompas.com
Info Berita - Setiap individu diberikan banyak pilihan untuk memiliki fisik lebih sehat. Dengan fisik yang sehat, penyakit semakin menjauh dan tubuh lebih bugar, sehat lahir batin. Pilihan ada di tangan Anda.
Cara apa yang dipilih untuk menyehatkan fisik, yang akhirnya membuat hidup lebih bahagia. Jika saat ini Anda masih berproses menemukan cara paling tepat, pilihan cara penulis Dewi Lestari bisa menjadi sumber inspirasi. Berikut kisah Dewi kepada majalah More Indonesia mengenai pilihannya menjadi vegetarian.
"Jangan jadikan perut kita kuburan." Kalimat ini saya baca waktu masih SMA, di sebuah majalah yang meliput Ray Sahetapy dan pilihannya menjadi vegetarian. Nasehat tersebut menancapkan sangkar di benak saya selama bertahun-tahun.
Pada tahun 2000, saya mulai berlatih yoga dan guru saya seorang vegetarian. Suatu hari, ia memasak makan siang buat kami murid-muridnya. Dengan gesit ia mencampur berbagai sayuran dan menumisnya dengan sedikit margarin. Bertemankan nasi panas, kami melahap sayur-sayuran minim bumbu ini. Tapi, entah mengapa, makanan yang sederhana ini terasa sangat nikmat dan menjadi salah satu santap siang terenak seumur hidup saya. Saat pulang ke rumah, saya iseng mencoba hidup vegetarian selama sebulan. Hasilnya? Setahun saya tidak pernah sakit. Tapi saat itu, kelekatan saya dengan daging-dagingan masih terlalu kuat dan akhirnya pola makan pun kembali seperti biasa.
Pada 2006, saya pergi ke Yogyakarta untuk mempromosikan buku. Di sana, saya berkenalan dengan seseorang, yang belakangan saya baru tahu, ia adalah ketua Indonesian Vegetarian Society cabang Yogyakarta. Chindy Tanjung, demikian namanya, memberikan saya setumpuk buletin. Ia berkata ada banyak informasi tentang lingkungan dalam buletin tersebut. Sesampai di kamar hotel, saya membuka tumpukan tersebut. Ternyata semua adalah buletin vegetarian. Saya pun terheran-heran: memang apa hubungannya vegetarian dengan lingkungan.
Memaknai gaya hidup vegetarianSetelah lanjut membaca, barulah saya tahu ada jendela lain untuk memaknai gaya hidup vegetarian. Daging-dagingan yang diproduksi oleh industri ternal telah menyerap begitu banyak sumber daya alam. Termasuk hutan, air, dan tanaman pangan yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh manusia. Bahkan, 70 persen hutan di Amazon hilang, karena industri peternakan, 20 persen lahan subur di seluruh dunia digunakan untuk menernakkan hewan, dan 80 persen titik perikanan di laut dunia sudah kosong. Pakan hewan ternak di Amerika Serikat bahkan hanya cukup untuk memberi makan 1,3 miliar orang, sementara jutaan manusia hidup kelaparan.
Tak sampai hari berganti, sore itu saya bertekad menjadi vegetarian. Sampai sekarang dan lebih dari empat tahun telah berlalu, saya bahagia dengan keputusan ini. Saya merasa lebih berdamai dengan makhluk lain yang tak perlu disakiti, karena lidah saya.
Sehat karena vegetarian
Hidup vegetarian pun memberikan dampak berarti bagi kesehatan. Selama empat tahun, penyakit serius benar-benar jauh dari saya. Kena flu pun bisa dihitung dengan jari. Saya tak pernah bersentuhan dengan obat-obatan. Badan saya jadi lebih sensitif dan cepat memberikan respons. Ditambah praktek meditasi, saya merasakan manfaat ekstra, yakni mental lebih peka.
Namun, perlu juga digarisbawahi bahwa sekadar berhenti makan daging, bukan berarti jaminan jadi sehat. Menurut saya pribadi, menjalani hidup vegetarian pun perlu kejelian dan kecermatan. Keseimbangan nutrisi, bahwa makanan yang sehat dan alami, serta pengolahan yang tepat, adalah faktor penting agar hidup bervegetarian tetap optimal. Melengkapi diri dengan pengetahuan gizi melalui buku dan informasi lainnya menjadikan kita konsumen yang mawas dan bertanggung jawab atas kesehatan diri sendiri.
Hidup vegetarian barangkali bukan untuk semua orang. Namun, dengan hanya menjalani satu hari saja dalam seminggu, setahun kita sudah bisa membantu bumi menghemat: 317.520 liter air, 111 kilogram tanaman biji-bijian, 693 meterpersegi lahan, 58 liter bensin dan 183 kg kotoran ternak. Dengan mencoba sedikit demi sedikit, tapi setia, siapa tahu hidup vegetarian atau semivegetarian ternyata cocok untuk Anda.
Cara apa yang dipilih untuk menyehatkan fisik, yang akhirnya membuat hidup lebih bahagia. Jika saat ini Anda masih berproses menemukan cara paling tepat, pilihan cara penulis Dewi Lestari bisa menjadi sumber inspirasi. Berikut kisah Dewi kepada majalah More Indonesia mengenai pilihannya menjadi vegetarian.
"Jangan jadikan perut kita kuburan." Kalimat ini saya baca waktu masih SMA, di sebuah majalah yang meliput Ray Sahetapy dan pilihannya menjadi vegetarian. Nasehat tersebut menancapkan sangkar di benak saya selama bertahun-tahun.
Pada tahun 2000, saya mulai berlatih yoga dan guru saya seorang vegetarian. Suatu hari, ia memasak makan siang buat kami murid-muridnya. Dengan gesit ia mencampur berbagai sayuran dan menumisnya dengan sedikit margarin. Bertemankan nasi panas, kami melahap sayur-sayuran minim bumbu ini. Tapi, entah mengapa, makanan yang sederhana ini terasa sangat nikmat dan menjadi salah satu santap siang terenak seumur hidup saya. Saat pulang ke rumah, saya iseng mencoba hidup vegetarian selama sebulan. Hasilnya? Setahun saya tidak pernah sakit. Tapi saat itu, kelekatan saya dengan daging-dagingan masih terlalu kuat dan akhirnya pola makan pun kembali seperti biasa.
Pada 2006, saya pergi ke Yogyakarta untuk mempromosikan buku. Di sana, saya berkenalan dengan seseorang, yang belakangan saya baru tahu, ia adalah ketua Indonesian Vegetarian Society cabang Yogyakarta. Chindy Tanjung, demikian namanya, memberikan saya setumpuk buletin. Ia berkata ada banyak informasi tentang lingkungan dalam buletin tersebut. Sesampai di kamar hotel, saya membuka tumpukan tersebut. Ternyata semua adalah buletin vegetarian. Saya pun terheran-heran: memang apa hubungannya vegetarian dengan lingkungan.
Memaknai gaya hidup vegetarianSetelah lanjut membaca, barulah saya tahu ada jendela lain untuk memaknai gaya hidup vegetarian. Daging-dagingan yang diproduksi oleh industri ternal telah menyerap begitu banyak sumber daya alam. Termasuk hutan, air, dan tanaman pangan yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh manusia. Bahkan, 70 persen hutan di Amazon hilang, karena industri peternakan, 20 persen lahan subur di seluruh dunia digunakan untuk menernakkan hewan, dan 80 persen titik perikanan di laut dunia sudah kosong. Pakan hewan ternak di Amerika Serikat bahkan hanya cukup untuk memberi makan 1,3 miliar orang, sementara jutaan manusia hidup kelaparan.
Tak sampai hari berganti, sore itu saya bertekad menjadi vegetarian. Sampai sekarang dan lebih dari empat tahun telah berlalu, saya bahagia dengan keputusan ini. Saya merasa lebih berdamai dengan makhluk lain yang tak perlu disakiti, karena lidah saya.
Sehat karena vegetarian
Hidup vegetarian pun memberikan dampak berarti bagi kesehatan. Selama empat tahun, penyakit serius benar-benar jauh dari saya. Kena flu pun bisa dihitung dengan jari. Saya tak pernah bersentuhan dengan obat-obatan. Badan saya jadi lebih sensitif dan cepat memberikan respons. Ditambah praktek meditasi, saya merasakan manfaat ekstra, yakni mental lebih peka.
Namun, perlu juga digarisbawahi bahwa sekadar berhenti makan daging, bukan berarti jaminan jadi sehat. Menurut saya pribadi, menjalani hidup vegetarian pun perlu kejelian dan kecermatan. Keseimbangan nutrisi, bahwa makanan yang sehat dan alami, serta pengolahan yang tepat, adalah faktor penting agar hidup bervegetarian tetap optimal. Melengkapi diri dengan pengetahuan gizi melalui buku dan informasi lainnya menjadikan kita konsumen yang mawas dan bertanggung jawab atas kesehatan diri sendiri.
Hidup vegetarian barangkali bukan untuk semua orang. Namun, dengan hanya menjalani satu hari saja dalam seminggu, setahun kita sudah bisa membantu bumi menghemat: 317.520 liter air, 111 kilogram tanaman biji-bijian, 693 meterpersegi lahan, 58 liter bensin dan 183 kg kotoran ternak. Dengan mencoba sedikit demi sedikit, tapi setia, siapa tahu hidup vegetarian atau semivegetarian ternyata cocok untuk Anda.
Sumber: Majalah MORE Indonesia/ kompas.com
0 comments:
Post a Comment