Jika Anda melihat beberapa logo situs berita di Indonesia berubah jadi batik pada 2 Oktober, berarti Anda tengah menyaksikan hasil kampanye batik di dunia maya yang dilakukan oleh praktisi internet yang kini menjabat CEO Mojopia Shinta Witoyo Dhanuwardoyo bersamaan dengan Hari Batik.
Ajakan Shinta untuk memberi tema batik pada logo diiyakan oleh Detikcom, Vivanews, Kompas, Kaskus, Kapanlagi, dan Okezone, untuk menyebut beberapa di antaranya. Kekhawatirannya, pada peringatan setahun Hari Batik ini, orang sudah mulai lupa. Maka ia berusaha memberi pengingat. "Aku pengen situs-situs besar yang sering dibuka orang itu ada logo batiknya. That way, orang kan akan, 'Kenapa ya kok jadi batik? Oh ya, kan Hari Batik.' Reminder aja," kata Shinta.
Selama setahun sejak Hari Batik dicanangkan, Shinta sudah melihat adanya perubahan sudut pandang orang Indonesia terhadap batik. Kalau orang Indonesia ditanya, apa sih yang bagus di Indonesia, nomor satu yang ada di pikiran mereka adalah batik, kata Shinta. Pemikiran bahwa batik memang sesuatu yang patut dibanggakan mulai terbentuk.
Batik pun sudah mulai menjadi bagian dari kehidupan keseharian modern, sesuatu yang tidak lagi superformal, tapi bisa dipakai ke kantor atau pusat perbelanjaan. Bahkan mulai menjadi ciri khas keindonesiaan.
Tetapi, yang belum banyak berubah, menurutnya, masih belum banyak orang yang bisa menjelaskan kenapa batik istimewa. "Orang pasti tahunya cuma pas nggambarnya doang deh, karena itu yang selalu di-pi-ar-kan. Karena itu yang selalu dilihat orang, mbok-mbok nggambar pakai wax," ujarnya. Sementara ada proses ngorot, malam, atau proses lain yang kemudian memunculkan warna pada sehelai kain batik.
Inilah yang menurut Shinta masih harus dijelaskan lebih jauh dengan cara yang lebih modern. Sekolah bisa jadi titik awal yang baik, tetapi internet kini sudah menjadi sumber utama pencarian informasi manusia modern. "Mungkin harusnya lebih banyak lagi konten-konten tentang batik di internet. Proses membuat batik harusnya ada di Youtube dan somebody has to do it," ujar Shinta. Berbagai cara membuat sesuatu toh sudah dengan mudah ditemukan di Youtube, kenapa tidak soal batik?
Kecintaan Shinta pada batik berawal dari kesukaannya akan seni. Dari situlah ia menghargai betapa rumitnya proses yang harus dilalui untuk menciptakan batik. Yang kedua, ia mengagumi ketekunan dan kesabaran para pengrajin dalam menciptakan motif yang sangat detil pada selembar kain. Shinta membandingkannya dengan ketika ia melukis di atas kanvas, kadang ia bisa tak sabar menghasilkan lukisan sementara para pengrajin ini bisa menghabiskan berbulan-bulan menekuni satu 'kanvas' yang sama.
"Susah dibilang ini karya seni seseorang, karena ada beberapa orang yang involved. Bisa sampai 10, bisa sampai 20, untuk selembar batik," tambahnya. Itulah sebabnya harga batik bisa tinggi. Dan kadang proses inilah yang belum sepenuhnya disadari kebanyakan orang Indonesia untuk kemudian bisa memberi nilai 'wajar' pada harga tinggi batik.
Ketika ia mulai bekerja dan punya cukup uang 12 tahun lalu, barulah ia sedikit-sedikit membeli batik. Koleksinya dari batik antik sampai yang modern agar bisa dipakai sehari-hari. Beberapa nama yang ia favoritkan termasuk batik Obin, alasannya warna dan desain yang kuat, serta inovatif.
Shinta juga menyebut batik Limaran yang sangat detail gambarannya, warna-warnanya juga jarang didapat dari batik lain. Batik Ozzy dari Pekalongan ia sukai karena selalu ada ceritanya, seperti contohnya batik tsunami dan batik wayang. "Ada tema-tema dan telaten mengerjakan motif yang kecil-kecil, dan rapi." Sementara untuk yang kasual dan mudah dipakai, Shinta memilih batik Riyana Kesuma, terutama karena pewarnaannya yang netral (palet abu-abu, coklat, biru) dari tumbuh-tumbuhan.
Ia sempat khawatir para pengrajin mulai meninggalkan batik karena industri yang tidak berkembang dan penggajian yang minim, tapi dengan keberadaan Hari Batik, Shinta berharap permintaan akan batik semakin banyak. Sehingga industri pun bisa bergerak lagi. Dan makin banyak orang yang tetap atau malah, kembali menekuni batik.
Isyana Artharini
0 comments:
Post a Comment