
INFO BERITA; Pagi itu matahari memancarkan sinar yang cerah. Sejumlah orang hilir mudik menjalankan aktivitas dengan penuh semangat dan harapan. Di antara mereka ada yang bersepeda, namun sudah banyak pula yang memakai sepeda motor. Wajah-wajah lugu terpancar dari raut muka mereka.
Begitulah suasana kegiatan masyarakat di Kampung Pucung, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Sabtu (16/4). Warga Pucung sebagian tinggal di rumah-rumah sangat sederhana, bahkan ada di antaranya yang masih tinggal di rumah berlantai tanah dan dinding gedek.
Namun, mereka tetap bisa menikmati hidupnya. Seperti yang dilakukan Paidi, salah seorang perajin wayang kulit di daerah itu. Bersama para perajin lainnya, Paidi masih bisa meluangkan waktu memainkan gamelan Jawa sebulan dua kali, di teras bagian depan rumahnya yang sangat sederhana.
Sebagian besar warga Pucung sehari-hari bekerja sebagai perajin kulit atau tatah sungging wayang. Ada warga yang khusus menatah kulit wayang dan ada pula yang mewarnainya (sungging). Keterampilan yang dimiliki warga ini sudah turun- temurun, bahkan ada yang sudah masuk generasi ketiga dan keempat seperti yang telah dilalui Sujiyono dan Suyono.
Menurut Sujiyono, mantan Lurah Pucung, saat ini di daerah itu terdapat 1.060 perajin dengan jumlah pengusahanya 138 orang. Usaha kerajinan ini merupakan industri rumahan. Setiap ada pesanan dari pembeli, para perajin membawa barang untuk dikerjakan di rumah masing-masing.
Tidak hanya membuat wayang kulit, warga Pucung juga mengerjakan kerajinan lain dari bahan kulit dengan desain baru seperti kipas, pembatas buku, kap lampu, dan sebagainya. Malah, sebagian besar kerajinan kulit produksi warga Pucung dipesan oleh pembeli dari Timur Tengah, Eropa, Jepang, China, dan Australia.
Selama ini pemasaran ke luar negeri itu dilakukan melalui eksportir di Surabaya, Jakarta, dan Bali. ”Tapi ada pula turis asing yang sengaja datang ke toko-toko wayang kulit di Pucung,” ujar Suyono, pengusaha wayang kulit.
Desain wayang kulit yang dipesan pembeli luar negeri, menurut Suyono dan Sujiyono, umumnya wayang kulit dengan motif batik. Biasanya, pembeli dari luar Indonesia yang membeli produk wayang kulit dan kerajinan lainnya menyertakan desain yang mereka inginkan.
Sejarah kerajinan wayang kulit di daerah Pucung diawali dengan kehadiran Mbah Atmo Karyo atau Mbah Glemboh, abdi dalem Keraton Yogyakarta. Menurut cerita Sujiyono, tahun 1918, Mbah Glemboh diserahi tugas merawat dan menjaga wayang keraton. Lama-lama dia tertarik membuat wayang kulit sendiri bersama para tetangganya, yakni Mbah Reso, Mbah Cermo, Mbah Karyo, dan Mbah Sumo.
Pada awalnya, wayang kulit yang dibuat Mbah Glemboh itu hendak dibawa ke keraton untuk diperlihatkan kepada Sultan Hamengku Buwono VII. Tujuannya agar sultan dapat memberikan penilaian terhadap wayang yang dibuatnya itu, apakah sudah benar atau tidak. Namun di tengah jalan, Belanda melihat hasil karya seni tersebut dan membeli semuanya.
Sampai tahun 1930, Mbah Glemboh masih membuat wayang dibantu oleh empat temannya beserta anak-anak mereka. Kemudian tahun 1970, PT Sarinah (perusahaan BUMN) di Jalan Thamrin, Jakarta, datang ke Yogyakarta dan tertarik pula dengan wayang kulit hasil karya warga Pucung.
Dengan sendirinya, pelanggan wayang kulit pun bertambah dan sampai sekarang usaha membuat wayang kulit menjadi mata pencarian warga di Kawasan Pucung. Ironisnya, meskipun secara ekonomi usaha kerajinan rakyat ini potensinya besar, upaya pemerintah untuk mempromosikan dan memberikan perlindungan berupa hak paten terhadap karya mereka sama sekali kurang dan belum ada.
Pada saat yang sama, minat masyarakat untuk melestarikan wayang kulit semakin luntur. Saat ini masyarakat lebih tertarik menonton kesenian modern ketimbang menikmati budaya bangsa sendiri. Sebagian anak muda lebih suka bermain game online dan play station daripada memahami karakter wayang.
Oleh karena itu, tidak heran jika wayang kulit yang digelar setiap malam oleh Dinas Kebudayaan Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta di Pendopo Sonobudoyo Museum selalu sepi penonton. Pada pertunjukan wayang kulit, Sabtu (16/4) malam, misalnya, hanya tampak beberapa turis asing. Padahal, tiket untuk menonton pertunjukan wayang selama dua jam itu hanya Rp 20.000 per orang.
Upaya Dinas Kebudayaan Pemprov DI Yogyakarta untuk menyajikan tontonan wayang kulit boleh dibilang sangat serius. Itu antara lain terlihat dari brosur yang ditulis dalam bahasa Inggris dan dicetak untuk dibagikan kepada penonton. Isinya menceritakan kisah wayang kulit yang dimainkan sang dalang pada malam itu.
Menurut Andhi Wisnu Wicaksono, pemerhati wayang, meskipun minat masyarakat menonton berkurang, keberadaan wayang kulit tidak akan punah. ”Jika pemerintah memiliki keinginan serius untuk melestarikan kebudayaan asli Indonesia, seharusnya sejak dini murid-murid di sekolah dikenalkan dengan tokoh-tokoh wayang,” ujar Andhi.
Di luar negeri, kesenian wayang mendapat apresiasi. Sejak tahun 2003, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) telah resmi memutuskan bahwa wayang merupakan warisan budaya dunia asli Indonesia. Masihkah kita akan tetap mengabaikan karya seni adiluhung warisan budaya bangsa sendiri?
sumber: kompas.com
0 comments:
Post a Comment